We are all unique individuals. Kita memiliki anggota tubuh, penampilan, dan pikiran yang berbeda dengan orang lain. So be your self !!!

Monday, December 6, 2010

WHERE HAVE ALL THE FATHERS GONE?

Bill Cosby memang berharga. Ketika beberapa tahun silam, anaknya Bill Cosby

Jr diterjang peluru, hampir sebagian warga dunia berguncang. Seorang ayah

'ideal' kehilangan anaknya. Puluhan pertanyaan berhamburan dibalik kejadian

itu. Orang-orang tidak membayangkan Bill Cosby Jr punya masalah dengan

bandit-bandit pengedar obat terlarang. Bukankah Bill Cosby seorang ayah

ideal, humoris, sabar, pengertian, enak dan perlu.

 

Tidaklah berlebihan, kalau Alvin F. Poussaint M.D, seorang Asisten Profesor

dari Harvard MedicalSchool, membutuhkan 10 halaman untuk menjelaskan

kehebatan sang tokoh. Namun ada satu pertanyaan inti yang tidak mampu

dijawab secara transparan oleh Bill.yaitu, "Where has Bill gone?".

 

Kemanakah Bill pergi selama ini. Apakah yang ia lakukan sepanjang hari

dengan anaknya. Kenapa, Bill tidak mengetahui sedikitpun tentang sepak

terjang anaknya?

 

Malam, ketika tulisan ini sedang dirampungkan, telpon rumah saya berdering.

Interlokal dari kampung saya disebuah dusun pedalaman Sumatra. Suara gagap

dan ragu-ragu kakak perempuan saya mengabarkan, dua orang keponakan kami

masuk penjara. Satu orang tertangkap sebagai pengedar Narkoba dan satu lagi

sebagai pemakai Narkoba kronis. Sama seperti Bill Cosby, tiba-tiba puluhan

pertanyaan menyergap dan mengepung ruang dalam otak kanan saya. Semua

pertanyaan itu berputar-putar dan akhirnya berpilin pada sebuah

pertanyaan...

 

"Where has their father gone ?"

 

Kemanakah ayah mereka pergi selama ini ?

 

Sehari sebelum saya terima kabar dari kampung, dalam sebuah dialog antara

pemerhati pecandu Narkoba, seorang ibu bercerita. Katanya, tak ada kesakitan

yang lebih mencekam ketimbang cengkraman Narkoba pada anaknya.

Dengan menahan tangis dan sedikit dendam, ia mengatakan anaknya adalah

korban dari hilangnya lelaki dewasa (ayah) dalam putaran kehidupan rumah

tangganya.

 

"Where has the father gone ?"

 

Dimana sih ayah-ayah mereka?

 

Anak-anak yang ditakdirkan menjadi pelaku sejarah diatas hanyalah sebagian

kecil di antara berjuta anak yang sebenarnya tidak membutuhkan konseling

psikologi.

 

Apa yang mereka butuhkan namun seringkali tidak mereka miliki- adalah ayah

yang peduli padanya dan punya waktu untuk bersama. Anak-anak itu tidak butuh

tenaga psikiater tapi dia butuh seseorang yang bisa dipercaya. Lalu

dimanakah ayah-ayah mereka? Ada dua jawaban.

 

Pertama, ayah yang ada tapi suka membolos. Tipe ini kita temukan

dimana-mana. Di lapangan golf, tenis, bulu tangkis, kantor dan tempat

lainnya.

 

Ada ayah yang dinas luar (tugas kantor atau dakwah) ke daerah-daerah hampir

setiap bulan.

 

Ada ayah yang bekerja, berangkat sesudah subuh dan pulang larut malam.

 

Ada juga ayah yang nongkrong, tidur-tiduran ditempat tertentu hanya untuk

melegitimasi bahwa ia sibuk sepanjang hari. Sehingga seolah-olah hanya ada

waktu sisa buat anak-anaknya.

 

Kesimpulannya, ayah-ayah ini ada di mana-mana, tapi mereka sering membolos

dari waktu bersama anaknya. Mereka (ayah-ayah ini) sulit ditemukan di

rapat-rapat POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru), karena ada

peninggalan purba yang menyatakan bahwa urusan sekolah adalah hak mutlak

sang ibu semata .

 

Kita jarang menemukan ayah di tempat praktek dokter menggendong anaknya yang

sakit.

 

Kita juga tidak melihatnya di kantor kepolisian mengurus anaknya yang

melakukan tindakan kriminal.Ayah-ayah ini apabila ditanyakan pada

mereka:apakah yang penting dalam hidupmu ? Biasanya mereka menjawab:keluarga

dan

anak-anak. Naifnya, jawaban ini sering tidak tercermin dalam kehidupan

sehari-hari, khususnya bagaimana mereka mengatur waktu dan tenaga mereka

sehari-hari antara pekerjaan dan anak. Simaklah dialog berikut ini:

 

Sang Anak : "Ayah, Yah main bola yuk!"

 

Sang Ayah : "O, ya. Ayah baca koran dulu!"

 

"O, ya. Ayah nonton berita dulu !"

 

"O, ya. Ayah janji main bola hari Sabtu!"

 

"O, ya. Ayah ada acara nih"

 

"O, ya. Ayah lagi cape ? "

 

"O, ya. Ayah lagi banyak kerjaan"

 

"O, ya. Ayah mau tapi ? "

 

Mungkin ayah seperti inilah yang dimaksudkan oleh hasil need assesment dari

Lembaga Demografi salah satu universitas negeri di Jakarta. Jajak pendapat

itu menerangkan empat ciri menonjol ayah tipe Pertama ini. Cepat

marah, jarang ada waktu ngobrol dengan anak, ditakuti anak dan selalu

menakar seluruh pekerjaan dengan uang.

 

Kedua, ayah yang ada (fisik) dan rajin tapi tidak tahu harus berbuat

apa.Kita menemukan ayah-ayah ini sering berada di rumah. Mereka mengerjakan

banyak hal, tapi tidak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Sebuah

gelombang rutinitas menjebak dan membawanya berputar-putar ke dalam

pekerjaan yang memiliki kualitas rendah.

 

Anak-anak menjumpai tokoh ini sepanjang waktu di rumah, namun sayangnya

lambat laun sang tokoh menjadi tidak berarti dalam kehidupan mereka. Tidak

ada lagi kejutan-kejutan psikologis yang biasa ditunggu-tunggu anak dari

seorang ayah yang normal. Ritme komunikasi berjalan tanpa greget dan hambar.

 

Sebagian besar korban Narkoba dan pelecehan seksual di kalangan remaja

memiliki ayah tipe kedua ini.

 

Bukan Superman tapi Superstar. Benar, ayah bukanlah superman, tapi ia adalah

superstar.

 

Ia bintang di tengah keluarga. Ia pembawa dan penentu model sekaligus agen

sosial. Lewat aksi panggungnya yang memikat, ia menggemuruhkan keceriaan

keluarga. Tapi, sebagai seorang bintang, ia tidak lahir dengan sendirinya.

Ia membutuhkan dukungan, karena bagi lelaki peran ayah bukanlah peran

instingtif.

 

Peran ini lebih membutuhkan bimbingan sosial dari pada wanita dengan

perannya sebagai ibu. Sebelum dukungan datang dari luar, maka sang ayah

harus mencari dukungan dari dirinya sendiri. Mereka haruslah secara kontinyu

merangsang dialog dengan hati nurani secara intens dan apresiatif.

 

Dialog-dialog ini harus mampu meyakinkan bahwa ia tidaklah satu-satunya ayah

yang sedang belajar menjadi superstar. Bahwa anak-anak membutuhkan cinta,

dukungan, dorongan dan perlindungannya. Bahwa melalui anak-anak

para orang tua diajarkan makna hidup, cinta, kesucian, kesabaran dan

sebagainya. Bahwa anak-anak melihat dunia luar dengan perantara jendela sang

superstar.

 

Dukungan dalam diri tidak akan berarti tanpa tekun dan sabar berlatih.

Sampai suatu saat hilangnya kekakuan dalam berhadapan dengan anak-anak.

Muncullah ayah yang dengan ikhlas membantu anaknya mengerjakan PR,

memandikan anak, mencuci baju dan belanja. Ayah yang membacakan buku cerita

untuk anaknya, mengantar anak les komputer.

 

Ayah-ayah inilah yang akan membuat dunia ini berputar dan menjawab

pertanyaan : "Where have all the fathers gone?" dengan "Here I am. Now and

forever!"

 

*tulisan diambil dari postingan moderator milis sehat, Om Gendi*

No comments: