http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/10/sepenggal-cerita-di-balik-kisah-sukses-srila-prabhupada
Sepenggal cerita di balik kisah sukses Srila Prabhupada
Srila Prabhupada lahir dengan nama Abhay Charan De pada tanggal 1 September 1896
Ayah Abhay adalah seorang penganut Vaisnava strict. Dia membesarkan Abhay dalam lingkungan spiritual yang ketat. Karena itulah dari kecil Abhay tidak pernah menyentuh daging, ikan, telur, teh, atau kopi. Pada waktu kecil Abhay selalu menyaksikan ketulusan bhakti ayahnya dalam melakukan pemujaan kepada
Di seluruh
Ketika Abhay berusia sekitar enam tahun, dia meminta sebuah Arca kepada ayahnya untuk dipujanya sendiri. Sejak saat itu, apapun yang dimakan oleh Abhay kecil akan dipersembahkannya terlebih dahulu kepada
Selama tahun-tahun kuliahnya, ayah Abhay mengatur pernikahannya, dengan memilihkan Radharani Datta, putri seorang keluarga pedagang yang diajak bekerjasama. Selama bertahun-tahun Abhay tinggal bersama keluarga, dan Radharani tinggal bersama keluarganya sendiri; jadi tangungjawab-tanggungjawab perkawinan berupa menghidupi sebuah keluarga tidak langsung dijalani Abhay sebelum dia menamatkan kuliahnya.
Hanya saja setelah tahun keempat kuliahnya Abhay mulai merasa enggan menerima gelar. Dia telah menjadi simpatisan gerakan nasionalis, yang memperjuangkan sekolah-sekolah nasional dan pemerintahan-sendiri.
Kakak kelas Abhay adalah seorang nasionalis yang menggebu, bernama Subhas Chandra Bose, yang belakangan menjadi pemimpin Tentara Nasional India, yang dibentuk untuk meruntuhkan pemerintahan Inggris di India. Ketika Subhas Candra Bose mendorong para mahasiswa untuk mendukung gerakan kemerdekaan
Abhay terutama tertarik kepada Mohandas K. Gandhi. Gandhi senantiasa membawa Bhagavad-gita dan mengatakan dirinya dibimbing oleh Gita di atas semua buku lainnya. Gandhi suci dalam kebiasaan pribadinya, tidak mabuk-mabukan, tidak makan daging, dan tidak melakukan seks yang tidak sah. Dia hidup secara sederhana, seperti seorang sadhu, namun terlihat lebih memiliki integritas ketimbang sadhu-sadhu pengemis yang telah banyak dilihat Abhay. Abhay membaca pidato-pidato Ghandi dan mengikuti aktivitasnya. Mungkin Gandhi dapat membawa spiritualitas ke lapangan kegiatan, pikir Abhay.
Gandhi meminta para mahasiswa untuk meninggalkan studi pada sekolah-sekolah yang dijalankan oleh bangsa asing karena menurutnya sekolah tersebut menanamkan mentalitas perbudakan. Mereka membuat seseorang tidak lebih daripada sebuah boneka di tangan bangsa Inggris. Tetap saja, gelar universitas adalah dasar bagi karir hidup. Abhay mempertimbangkan pilihan-pilihan tersebut secara hati-hati dan pada tahun 1920, setelah menyelesaikan tahun keempat kuliahnya dan meliwati ujian, Abhay menolak gelar diplomanya. Dengan cara demikian, dia mengesahkan protesnya dan menunjukkan responnya atas ajakan Gandhi.
Setelah peristiwa pembunuhan di Jallianwalla Bagh, dimana para tentara Inggris menembak mati ratusan warga
Srila Prabhupada bertemu pertama kali dengan guru spiritualnya, Bhaktisidhanta Sarasvati Thakura pada tahun 1922. Awalnya Abhay tidak ingin menemui beliau, karena pandangan skeptis pada para sadhu yang sering mengunjungi ayahnya. Namun seorang kawan Abhay berkeras, menyeretnya ke ruangan Gaudya Math, dimana mereka kemudian diantarkan ke balkon ke hadapan Bhaktisidhanta Sarasvati. Pada saat itulah Bhaktisidhanta Sarasvati mengatakan kepada Abhay dan teman-temannya untuk dapat menyebarkan ajaran Veda ke dunia barat. Untuk menguji Bhaktisidhanta, Abhay mengajukan beberapa pertanyaan kritis.
Abhay berpakaian kain khadi putih, yang di
Bhaktisiddhanta menjawab bahwa kesadaran Krishna tidak perlu menunggu perubahan keadaan politik
Abhay tersentak akan ketegasan beliau. Seluruh
Namun Srila Bhaktisiddhanta menyatakan bahwa semua pemerintahan bersifat temporer; realitas yang kekal adalah kesadara
Abhay telah menyimpulkan bahwa orang ini pasti bukan sadhu meragukan yang lain lagi, dan dia mendengarkan secara atentif argumen-argumen Bhaktisiddhanta dan merasakan dirinya pelan-pelan diyakinkan. Bhaktisiddhanta Sarasvati mengutip ayat-ayat Sanskerta dari Bhagavad Gita dimana
Abhay merasa dikalahkan dalam argumentasinya. Tapi dia senang. Ketika diskusi itu berhenti setelah dua jam, dia dan kawannya berjalan menuruni tangga dan keluar menuju jalan raya. Penjelasan Bhaktisiddhanta tentang gerakan kemerdekaan sebagai gerakan yang temporer dan tidak komplit meninggalkan kesan yang mendalam pada Abhay. Sekarang dia merasa dirinya lebih sebagai pengikut Bhaktisiddhanta Sarasvati ketimbang seorang nasionalis. Dia juga berpikir akan lebih baik seandainya dia belum menikah. Sosok agung ini memintanya untuk mengajarkan; dia bisa saja segera bergabung. Namun meninggalkan keluarga, menurut Abhay, akan merupakan suatu ketidakadilan.
Srila Prabhupada pernah mengatakan bahwa pada malam itu juga sebenarnya beliau telah menerima Bhaktisiddhanta Sarasvati sebagai guru spiritual yang meskipun belum secara resmi. Setelah Srila Prabhupada mulai banyak bergaul dengan Gaudya Math, belajar lebih giat dalam spiritual sampai akhirnya pada tahun 1932 Srila Prabhupada diterima secara resmi oleh Bhaktisidhanta sebagai muridnya.
Tiga puluh tahun berikutnya kehidupannya di
Sebagai seorang penjual obat-obatan, Abhay melakukan banyak perjalanan dengan kereta api, khususnya di
Abhay tidak berkesempatan bepergian bersama guru spiritualnya atau sering bertemu beliau. Selama empat tahun berikutnya, Abhay hanya berkesempatan bertemu dengan gurunya sekitar dua belas kali saja. Meskipun demikian Abhay sangat akrab dengan gurunya, bahkan disaat murid-murid yang lain segan dan takut berhadapan seperti itu. Prabhupada belakangan menceritakan, "Kadangkala saudara-saudara seguru saya mengkritik karena saya berbicara agak bebas dengan beliau, dan mereka mengutip pepatah Inggris yang mengatakan; "Orang bodoh berlari di tempat dimana para malaikat takut melangkah". Namun saya berpikir, 'Orang bodoh? Ya, mungkin saja. Tapi itulah saya.' Guru Maharaja senantiasa sangat sayang kepada saya."
Satu dari pertemuan terpenting Abhay dengan guru spiritualnya terjadi di Vrindavana pada tahun 1935. Abhay tidak lagi seorang pendatang baru saat itu, namun seorang murid yang bonafide, melakukan yang terbaik dalam konteks kehidupan berumah-tangga. Suatu hari saat Srila Bhaktisiddhanta berjalan-jalan di tepi telaga suci Radha-kusa bersama Abhay dan beberapa murid lainnya, beliau mulai berbisik secara rahasia kepada Abhay. Beliau mengatakan bahwa beberapa murid seniornya telah berselisih, dan hal ini membuat beliau sangat sedih.
Dengan perhatian yang mendalam, Srila Bhaktisiddhanta berkata kepada Abhay, "Akan terjadi perpecahan." Suatu hari akan terjadi perpecahan di dalam Gaudya Math Calcutta, dan perpecahan kepentingan tersebut akan menyebar dan menghancurkan segalanya. Abhay mendengarkan tapi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Gurunya mengatakan; "Akan lebih baik mencopot marmer dari gedung-gedung kuil untuk mengamankan uang. Jika saya dapat melakukan hal ini dan mencetak buku-buku, itu akan lebih baik."
Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati kemudian secara langsung berkata kepada Abhay, "Saya berkeinginan untuk mencetak beberapa buku. Jika kamu punya uang, cetaklah buku." Berdiri di tepi Radha-kusa dan menatap guru spiritualnya, Abhay merasakan kata-kata ini memasuki lubuk hatinya "Jika kamu punya uang, cetaklah buku."
Srila Bhaktisiddhanta berpulang dari dunia fana ini pada bulan Desember 1936. Sebulan sebelumnya, Abhay bersurat kepada beliau. Abhay berpikir bahwa sebagai seorang grhastha dia tidak mampu sepenuhnya melayani guru spiritualnya, dan dia ingin tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Dengan demikian dia bertanya, "Adakah pelayanan tertentu yang bisa saya lakukan?"
Berselang dua minggu akhirnya Abhay menerima jawabannya yang intinya menyatakan bahwa gurunya yakin suatu saat nanti Abhay mampu menjelaskan dan menyebarkan ajaran perguruannya dalam bahasa Inggris kepada semua orang yang tidak mampu berbahasa Benggali atau Hindi. Abhay segera mengenali hal ini sebagai instruksi yang sama yang telah diterimanya pada pertemuan pertamanya dengan Srila Bhaktisiddhanta pada tahun 1922. Dia menganggap hal ini sebagai sebuah penegasan. Sekarang dia tidak memiliki keraguan mengenai tujuan hidupnya.
Perpecahan Gaudya Math sesaat setelah berpulangnya Srila Bhaktisiddhanta dengan segera terjadi. Mereka berebut mendapatkan warisan aset perguruan. Abhay jarang ikut dalam aktivitas-aktivitas Gaudya Math, dan sekarang hal itu menjadi keuntungan baginya. Dia jauh dari perselisihan tersebut, namun menyesal bahwa perintah guru spiritualnya kepada murid-murid untuk bekerja secara bersama-sama sedang diabaikan dan kesatuan institusi beliau yang terdiri dari kuil-kuil dan percetakan sedang kolaps.
Pada saat terjadi perang dunia kedua, dari kamar depan apartemennya di
Peristiwa-peristiwa besar nasional terus-menerus berlangsung sepanjang tahun 1940-an di India. Pada tahun 1947
Abhay tidak menggantungkan harapan pada janji-janji perdamaian, dia juga tidak menganggap kemerdekaan
Bahkan ketika Abhay tidak mampu mengumpulkan cukup uang untuk mempublikasikan jilid-jilid reguler majalah Back to Godhead, dia terus menulis. Proyeknya yang paling ambisius adalah sebuah ulasan Bhagavad Gita, namun dia juga mengajarkan ajaran Sri Caitanya melalui surat-surat. Dia bersurat kepada banyak pemimpin pemerintahan, kenalan-kenalan orang terhormat, dan kepada penulis artikel-artikel yang telah dibacanya atau berita tentang orang yang melakukan aktivitas yang menarik perhatian matanya di
Abhay tidak bisa menghindari pemikiran untuk melibatkan Mohandas Gandhi dalam pelayanan bhakti. Karena aktivitas-aktivitas moral, pertapaan dan dorongan semangatnya atas nama warga negara, Gandhi memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi warga
Abhay tahu bahwa suratnya kemungkinan besar tidak akan pernah sampai ke tangan Gandhi, namun dia mengirimkannya juga. Memperkenalkan diri sebagai "kawan tak dikenal," dia menulis, "Saya beritahu Anda sebagai kawan yang tulus bahwa Anda harus segera pensiun dari aktivitas politik jika tidak ingin meninggal dengan cara yang mengenaskan." Walau sedikit mengakui kehormatan dan martabat Gandhi, Abhay mengatakan bahwa segalanya akan menjadi ilusi kecuali Gandhi pensiun dari politik dan tekun dalam memahami dan mengajarkan Bhagavad Gita. Terutama sekarang ketika Gandhi ada di penghujung kehidupan, Abhay memperingatkan, dia harus berhenti dari aktivitas politik dan mendekatkan diri kepada Kebenaran Mutlak. Setidaknya selama sebulan, pinta Abhay, Gandhi harus pensiun dan bergabung bersamanya dalam mendiskusikan Bhagavad Gita. Abhay tidak pernah menerima jawaban atas suratnya, dan sebulan kemudian, pada tanggal 30 Januari, Gandhi menemui ajalnya. Surat Abhay pada bulan sebelumnya tiba-tiba terbaca seperti sebuah ramalan.
Ketika keterlibatan Abhay semakin menggiat dalam menulis dan mengajarkan, bisnis dan urusan keluarganya terbengkalai. Dia merasa bahwa satu ayat khusus yang disabdakan oleh Sri
Sambil terus menghidupi istri dan anak-anaknya di sebuah apartemen di
Ketika satu rumah sakit langganan di
Abhay telah berusia 56 tahun, dan berpikir bahwa dia harus memulai sekarang dengan sangat serius mewujudkan perintah-perintah guru spiritualnya. Seperti yang dikatakannya kepada seorang laki-laki di
Namun ketika sibuk dalam urusan ini, suatu hari Abhay menerima sebuah telegram yang menyampaikan bahwa bisnisnya di
Dalam sebuah kunjungan ke keluarganya di
Apa gunanya, pikirnya, jika mereka tidak menjadi penyembah? Istri dan keluarganya tidak tertarik dengan kegiatan pengajarannya di
Abhay selalu menasihati istrinya untuk tidak minum teh: itu bukan praktik keluarga Vaisnava yang strik. Akhirnya dia berkata, "Kamu harus memilih antara saya dan teh. Tehnya yang pergi atau saya yang pergi." Istri Abhay menjawab secara bercanda, "Yah, kalau begitu saya mesti melepaskan suami saya." Kemudian suatu hari istrinya melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Dia menjual salinan Bhagavata Purana suaminya untuk membeli biskuit dan teh. Ketika Abhay pulang dan mencari buku suci tersebut, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Abhay kaget, dan insiden itu mendorongnya untuk meninggalkan keluarganya demi kebaikan. Dalam ketabahan hati yang mantap, dia meninggalkan keluarga dan bisnisnya.
Tahun 1950-an terbukti sebagai tahun-tahun yang sangat sulit bagi Abhay. Dia kembali ke
Abhay menghabiskan waktunya untuk menulis dan mendekati donator-donatur, yang juga diajarkannya tentang Bhagavad Gita. Tujuannya bukan untuk mencari tempat tinggal yang permanen namun untuk mencetak literatur spiritualnya dan mendirikan sebuah gerakan yang kuat untuk menyebarkan kesadaran
Karena kekurangan uang bahkan untuk membeli pakaian yang sepantasnya, Abhay berurusan ke sana-kemari tanpa mengenakan jaket pada saat musim dingin
Setelah mengambil majalah dari percetakan, Abhay berjalan keliling
Selain menjual Back to Godhead di kedai-kedai teh dan mengantarkan kepada para donatur, Abhay juga mengirimkan majalahnya secara gratis lewat pos baik di dalam
Pada kalangan atas, Abhay mengirimkan Back to Godhead kepada presiden India, Dr. Rajendra Prasad, dilampiri sebuah surat yang memperingatkannya akan ancaman takdir yang menunggu sebuah masyarakat yang dipimpin oleh orang yang tak berketuhanan "Karena itu tolong selamatkan mereka dari kejatuhan yang besar." Abhay meminta kepada Yang Mulia untuk setidaknya melirik kolom utama majalah Back to Godhead yang dilampirkannya dan mempertimbangkan memberi kesempatan wawancara kepada sang editor. "Saya menangis sendirian dalam kesulitan saat ini," tulis Abhay. Yang Mulia tidak pernah menjawabnya.
Walau mesti meliwati membaranya musim panas New Delhi, ketika suhu naik mencapai 114 fahrenheit, Abhay tetap pergi setiap hari menjual majalah dwi-mingguannya. Suatu kali Abhay mengalami serangan hawa panas dan terhuyung-huyung di jalan, sampai seorang kawan menaikkan dia ke mobil dan mengantarkannya ke dokter. Kali lain Abhay diseruduk seekor sapi dan terbaring beberapa saat terlantar di pinggir jalan. Pada saat-saat seperti ini, Abhay bertanya-tanya mengapa dia meninggalkan rumah dan bisnisnya, dan mengapa, karena sekarang dia telah berserah-diri kepada
Sambil terus melanjutkan perjuangannya mencetak dan menjual Back to Godhead di Delhi, Abhay memutuskan untuk tinggal di Vrindavana, delapan puluh mil sebelah selatan
Abhay melihat Vrindavana tidak seperti penglihatan orang biasa. Sebagai seorang penyembah murni
Seperti halnya Vrindavana adalah tempat tinggal Krishna, demikian pula Abhay adalah pelayan
Diarahkan oleh keinginan untuk meyebarluaskan keagungan abadi Vrindavana, Abhay bekerja hampir non-stop di Vrindavana memproduksi masing-masing jilid majalah Back to Godhead. Namun, bolak-balik
Suatu kali Abhay mengalami mimpi yang aneh, mimpi yang sama yang telah dialami beberapa kali sebelumnya, selama masa-masa sebagai orang yang berumah-tangga. Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati muncul, seperti yang dikenal Abhay, seorang sannyasi terpelajar yang berperawakan tinggi, datang secara langsung dari dunia spiritual, rekan pribadi
Abhay mempertimbangkan dengan serius. Dengan menerima tingkatan Sanyasa , seorang Vaisnava mendedikasikan badan, pikiran, dan kata-katanya secara total untuk pelayanan kepada Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, me-ninggalkan segala kesibukkan lain. Abhay telah melakukan semua itu, namun dia merasa bahwa dengan menerima tingkatan Sanyasa dia bisa mempertegas posisinya dan bahkan memperoleh dorongan yang lebih besar untuk tugas besar yang masih terbengkalai. Standar Veda dan contoh yang ditetapkan oleh para Acharya terdahulu adalah bahwa jika seseorang ingin memimpin sebuah gerakan pengajaran, diperlukan tingkatan Sanyasa . Pada mulanya Abhay enggan, namun sekarang dia menimbang-nimbang kembali. Abhay mendatangi saudara segurunya, Kesava Maharaja, di Mathura, yang ternyata mendorong Abhay untuk segera mengambil tingkatan Sanyasa .
Pada tahun-tahun belakangan Prabhupada menceritakan, "Saya sedang duduk sendirian di Vrindavana, menulis. Saudara seguru saya menyemangatkan, 'Bhaktivedanta Prabhu, engkau harus melakukannya. Tanpa menerima tingkat hidup pelepasan ikatan, tak seorang pun dapat menjadi pengajar.' Guru spiritual sayalah yang berkeras melalui saudara seguru ini. Jadi, dengan enggan, saya menerimanya."
Setelah sebuah acara diksa Sanyasa formal di Vrindavana, nama Abhay menjadi Abhay Caranavinda Bhaktivedanta Swami. Namun masalah dasar beliau masih tetap. Beliau ingin mengajarkan kesadaran
Bagaimanapun juga satu perubahan terjadi: Bhaktivedanta Swami memutuskan untuk menulis buku. Ketika seorang pegawai perpustakaan menyarankan untuk menulis buku (buku bersifat permanen, sedangkan majalah dibaca sekali kemudian dibuang), Bhaktivedanta Swami menganggap guru spiritualnya sedang berbicara melalui orang ini. Kemudian seorang tentara yang menyukai Back to Godhead menyarankan hal yang sama. Dalam kedua kasus tersebut Bhaktivedanta Swami menganggap saran tersebut sebagai sabda dari guru spiritualnya.
Bhaktivedanta Swami mempertimbangkan untuk menulis Bhagavata Purana, karena Bhagavata Purana adalah kitab suci Vaisnava yang paling penting dan otoritatif. Walau Bhagavad Gita adalah esensi dari segala pengetahuan Veda, sementara itu Bhagavata Purana disajikan secara mendetail. Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati dan Bhaktivinoda Takur keduanya telah menulis ulasan Bhagavata Purana berbahasa Benggali. Faktanya, hampir semua Acharya Vaisnava yang agung pada masa lalu telah mengulas Bhagavata Purana, "literatur Veda yang tanpa noda." Sebuah terjemahan dan ulasan bahasa Inggris atas buku ini suatu hari akan mampu mengubah hati orang di seluruh dunia. Dan jika Bhaktivedanta Swami bisa mencetak bahkan beberapa jilid saja, pengajarannya akan terangkat; beliau bisa pergi ke luar negeri dengan rasa percaya diri dan muncul di
Beliau merenungkan skala proyek yang sedang diupayakannya. Bhagavata Purana terdiri dari delapan belas ribu ayat, dalam dua belas Skanda, yang beliau perkirakan sedikitnya akan menjadi enam puluh jilid. Beliau berpikir mungkin mampu menyelesaikan dalam tempo
Tindakan Bhaktivedanta Swami menerima tingkatan Sanyasa , idenya untuk menulis dan menerbitkan Bhagavata Purana, dan keinginannya untuk mengajarkan kesadaran Krishna di Barat semua saling bersangkut-paut. Untuk mengajarkan, beliau mesti punya buku, khususnya jika hendak pergi ke Barat.
Walau dikenal sebagai seorang pengajar berbahasa Inggris, Bhaktivedanta Swami tahu bahwa presentasinya dalam bahasa asing memiliki banyak kesalahan teknis; dan beliau tidak punya editor untuk memperbaikinya. Namun kesalahan-kesalahan teknis yang demikian tidak akan menjadi penghalang untuk mencetak Bhagavata Purana . Ini adalah suatu keperluan mendesak. "Ketika terjadi kebakaran di sebuah rumah," tulisnya, "para penghuni rumah keluar untuk mencari bantuan dari para tetangga yang mungkin asing bagi orang itu namun tanpa bahasa yang pas para korban kebakaran meminta pertolongan, dan para tetangga memahami keperluan korban walau diekspresikan dalam bahasa yang kurang pas. Semangat kerjasama seperti itu diperlukan untuk menyebarluaskan ajaran transendental Bhagavata Purana ini ke seluruh dunia yang beratmosfir tercemar saat ini."
Bhaktivedanta Swami menyajikan Bhagavata Purana tanpa perubahan, dengan penghormatan terbesar kepada Srila Vyasadeva, sang penyusun. Dan itulah jasa terpenting Bhakti-vedanta Swami. Tentu beliau menambahkan keinsafannya sendiri, namun bukan dengan semangat untuk berusaha melampaui guru-guru spiritual sebelumnya. Dalam hal yang terpenting, yaitu mempresentasikan pokok permasalahan secara tegas menurut parampara, Bhaktivedanta Swami mengalami kesulitan berupa "teknik-teknik yang salah dan kurang sempurna." Beliau mengetahui bahwa tanpa tetap setia pada garis perguruan, penjelasan Bhagavata Purana tidak akan bernilai.
Di kamar kuil Chippiwada, beliau mengetik siang-malam di atas meja dengan lampu redup yang tergantung di tali dari langit-langit. Beliau duduk di lantai dengan beralaskan tikar tipis, mesin ketik ada di hadapannya di atas sebuah kopor. Halaman-halaman ketikan menumpuk, dan ditindihnya dengan batu. Makan dan tidur hanya bersifat insidental. Beliau yakin sepenuhnya bahwa Bhagavata Purana akan menciptakan revolusi dalam peradaban yang salah arah saat ini. Dengan demikian beliau menerjemahkan tiap kata dan menulis tiap penjelasan dengan perhatian dan konsentrasi penuh. Namun ini harus dikerjakan secepat mungkin.
Menulis hanyalah setengah perjuangan; setengah yang lain adalah menerbitkannya. Namun para penerbit tidak tertarik dengan seri enam puluh jilid Bhagavatam, sedangkan Bhaktivedanta Swami tidak tertarik pada apapun yang lain. Karena itu, untuk menerbitkan buku-bukunya, beliau mesti meminta donasi dan menerbitkan dengan biaya sendiri.
Disamping menyebarkan bukunya secara door to door, Bhaktivedanta Swami mengirimkan bukunya kepada tokoh-tokoh politik dan menerima review yang menguntungkan dari Sri Biswanath Das, gubernur Uttar Pradesh, dan Dr. Zakir Hussain, wakil presiden India. Beliau juga menerima kesem-patan interview langsung dengan Dr. Hussain, dan beberapa bulan kemudian memperoleh kesempatan bertemu dengan perdana menteri, Lal Bahadur Shastri.
Ini adalah kesempatan formal di wilayah Gedung Parlemen, dimana sang perdana menteri, dikelilingi oleh asisten-asistennya, menerima seorang sadhu tua. Bhaktivedanta Swami, kelihatan terpelajar di balik kacamatanya, melangkah maju dan memperkenalkan dirinya dan bukunya, Bhagavata Purana. Ketika beliau menyerahkan buku Jilid Satu, seorang fotografer mengambil foto sang penulis dan perdana menteri yang tersenyum memandangi buku.
Dengan menggunakan review yang menguntungkan ini sebagai media promosi, Bhaktivedanta Swami mengunjungi donator-donatur yang prospektif saat berusaha mengumpulkan dana untuk jilid berikutnya. Akhirnya, dengan naskah di tangan dan uang untuk mencetak, beliau kembali memasuki dunia percetakan membeli kertas, mengoreksi cetakan, dan menjaga jadwal percetakan agar masing-masing buku selesai tepat waktu. Dengan demikian, atas kegigihannya, beliau yang hampir tidak punya uang berhasil mencetak jilid ketiga karyanya dengan cover yang tebal dan lebar dalam tempo dua tahun lebih sedikit.
Pada tahap ini, dengan meningkatnya penghargaan dari dunia cendekiawan, Bhaktivedanta Swami mungkin segera akan menjadi figur yang diakui dikalangan warga negaranya. Namun beliau punya visi yang diarahkan ke Barat. Dan dengan dicetaknya jilid ketiga, beliau akhirnya merasa siap. Usianya telah enam puluh sembilan tahun, dan mesti memulainya segera. Telah lebih dari empatpuluh tahun sejak Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati pertama kali meminta seorang pemuda berumah-tangga di Calcutta untuk mengajarkan kesadaran Krishna di Barat. Pada mulanya Abhay Charan muda menganggap hal itu tidak mungkin. Namun rintangan berupa tanggungjawab keluarga sekarang telah hilang. Dan beliau bebas untuk pergi ke Barat. Walau tak punya uang.
Dengan telah terliwatinya hampir sebagian besar kesulitan, biaya perjalanan dan hal-hal tertentu seperti izin dari pemerintah tetap sebagai hambatan-hambatan terakhir yang cukup serius. Kemudian, tiba-tiba pada tahun 1965, hambatan-hambatan terakhir ini mulai menghilang satu-persatu.
Di Vrindavana Bhaktivedanta Swami bertemu Tuan Agarwal, seorang pengusaha dari Mathura, dan menyampaikan kepadanya, yang juga beliau lakukan terhadap hampir semua orang yang ditemui, bahwa beliau ingin pergi ke Barat. Walau Tuan Agarwal mengenal Bhaktivedanta Swami hanya baru beberapa menit, dia bersedia mencarikan sponsor di Amerika dengan cara meminta Gopal putranya, seorang insinyur yang tinggal di
Bhaktivedanta Swami kembali ke
Sekarang Bhaktivedanta Swami punya sponsor. Namun beliau masih memerlukan paspor, visa, P-form, dan ongkos perjalanan. Urusan paspor tidak sulit. Sekarang, dengan paspor dan sertifikat sponsorship, Bhaktivedanta Swami pergi ke
Meski pada saat menghadap Nyonya Morarji Srila Bhaktivedanta Swami melewati penolakan yang sangat keras, namun beliau berkeras dengan keinginannya. Beliau meminta Tuan Choksi untuk meyakinkan Nyonya Morarji dan bahkan mendikte apa yang harus dikatakannya: "Saya lihat orang ini sangat terinspirasi untuk pergi ke Amerika menyampaikan ajaran Sri Krishna kepada orang-orang di
Kesal dengan ketidakefektifan Tuan Choksi, Bhaktivedanta Swami minta bertemu langsung. Beliau diizinkan, dan Bhaktivedanta Swami yang telah beruban namun berteguh hati mengajukan permintaan yang tulus: "Mohon berikan saya satu tiket." Singkat cerita, melihat keinginan Srila prabhupada yang begitu keras, Sumati Morarji akhirnya mengabulkan sebuah tiket dan makanan gratis selama perjalanan ke Amerika. Bhaktivedanta Swami tersenyum cerah dan dengan gembira meninggalkan kantor Nyonya Morarji, meliwati para sekretaris yang skeptis dan keheranan.
Dengan menuruti instruksi Nyonya Morarji, para sekretarisnya melakukan persiapan akhir. Karena Bhaktivedanta Swami tidak memiliki pakaian hangat, Tuan Choksi mengantarkan beliau untuk membeli sebuah jaket wool dan pakaian lainnya yang berbahan wool. Atas permintaan Bhaktivedanta Swami, Tuan Choksi mencetak limaratus pamflet kecil yang mencantumkan delapan ayat yang ditulis oleh Sri Caitanya dan sebuah promosi Bhagavata Purana .
Nyonya Morarji menjadwalkan sebuah tempat untuk beliau di salah satu kapalnya, Jaladuta, yang akan berangkat dari
Beberapa hari sebelum keberangkatan kapal Jaladuta, Bhaktivedanta Swami tiba di
Beliau hanya membawa satu kopor pakaian, satu payung, dan persediaan sereal kering. Beliau tidak tahu apa yang akan dimakan di Amerika; mungkin di
Ketika tiba waktunya untuk berangkat, beliau memerlukan kepercayaan diri itu. Beliau sedang membuat momentum baru untuk kehidupannya, dan beliau sudah tua. Beliau pergi ke sebuah negara tak dikenal dan sangat mungkin tidak ber-sahabat. Miskin dan tidak dikenal di
Hari itu tanggal 13 Agustus, hanya beberapa hari sebelum Janmstami, perayaan tahunan kemunculan Sri Krishna. Selama tahun-tahun belakangan beliau ada di Vrindavana saat Janmastami. Banyak penduduk Vrindavana tidak akan pernah mau pergi dari Vrindavana; mereka tua dan merasa damai di Vrindavana. Bhaktivedanta Swami juga mempertimbangkan kemungkinan meninggal dunia jauh dari Vrindavana. Itulah sebabnya semua sadhu Vaisnava dan para janda bersumpah untuk tidak pergi dari Vrindavana, bahkan ke
Beliau naik taksi menuju pelabuhan
Seperti yang belakangan diceritakan Prabhupada, "Dengan kesulitan besar saya meninggalkan negara saya! Dengan satu dan lain cara atas karunia Krishna, saya bisa keluar sehingga bisa menyebarkan gerakan kesadaran
Dalam pelayarannya ke Amerika, Sila Prabhupada mengalami dua kali serangan jantung dan berkali-kali mabuk laut. Namun hanya karena karunia Guru dan
Disadur dengan penyesuaian dari buku berjudul "Prabhupada" karya Satsvarupa Dasa Goswami yang diterbitkan oleh Bhaktivendata Book Trust
Copas dr HDnet ..