Hari Pagerwesi jatuh pada setiap Budha (Rebo) Kliwon wuku Sinta. Pagerwesi dikenal sebagai hari "payogan" Hyang Pramesti Guru beserta para Dewata Nawasanga serta para Pitara, demi keselamatan alam semesta beserta segenap isinya. Pada tengah malam, menghaturkan "labaan" atau "caru" yang ditujukan pada Panca Mahabhuta. Sesudahnya, dilaksanakanlah yoga-samadhi, meneguhkan cipta agar dapat menahan gejolak indria.
Nah, demikianlah yang umumnya disebutkan, dan disosialisasikan secara umum, yang biasanya bisa kita temukan dalam kalender-kalender
Marilah kita perhatikan beberapa substansi terkait berikut:
1. Tengah Malam; pada tengah malam caru kepada Panca Mahabhuta dilaksanakan. Kita ketahui bersama bahwa Panca Mahabhuta adalah bahan-baku-dasar dari jasad manusia serta semua yang berjasad atau berwujud.
2. Di sisi lain, caru adalah korban suci, Bhuta Yadnya, yang laksanakan dengan tulus-ikhlas, guna menetralisir pengaruh negatif semestaraya (makro kosmos) serta tetap menjaga keseimbangan dan keselarasan yang ada; utamanya adalah keselarasan dan harmoni antara makro dengan mikro kosmos.
Nah, ini kita coba susuri melalui pertanyaan-pertanyaan berikut:
~ Apa yang semestinya kita caru-kan? dan
~ mengapa dilaksanakan tengah malam?, lebih mendasar lagi
~ mengapa dilaksanakan pada Budha Kliwon Shinta?, serta
~ mengapa dinamakan Pagerwesi?
Tentu semuanya itu bukannya tanpa alasan. Pasti ada alasan yang relevan dan signifikan —yang mendasarinya secara spiritual-filosofis. Apakah gerangan itu? Apa yang semestinya kita caru-kan? Itu tak lain adalah kebinatangan kita, berikut dorongan-dorongan indriawi yang tak habis-habisnya serta amat kuat pengaruhnya itu. Semua itu bersumber dari Panca Mahabhuta dengan berbagai implikasinya. Bangkitnya Panca Tanmatra, terkondisikan dengan baik, bilamana Panca Mahabhuta diselaraskan sedemikian rupa. Dengan cara bagaimana?
Kliwon terbentuk dari dua kata: "kali" (kala, saat) dan "won" (lelah, capek), sehingga ia bermakna saat sedang lelah-lelahnya jasmani ini. Umumnya, kita semua mencapai puncak kelelahan dan ingin beristirahat (tidur) di tengah malam, setelah seharian bekerja. Apalagi pada hari itu juga melaksanakan upavasa....jadi klop.
Jasmani yang lelah, daya-tahan dan kemampuan perlawanannyapun pasti amat rendah. Ia mudah untuk ditundukkan untuk kemudian dikendalikan, karena tenaga kasarnya sudah lemah. Kondisi jasmani yang demikian —yang seringkali juga disebut "layu" atau "laya", amat kondusif digunakan untuk ber-yoga-samadhi. Kenapa? Karena sementara jasmani lelah, rokhani menjadi kuat, demi keseimbangan konstelasi mikrokosmos. Nah, kesempatan inilah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Dalam Yoga, kita juga mengenal apa yang diistilahkan dengan Brahma Muhurta. Brahma Muhurta mempunyai keterkaitan makna dengan Brahma Murthi (ingat Wisnu Murthi). Saat-saat itu, adalah saat-saat yang terbaik untuk menguatkan cipta. Dikatakan juga bahwa saat itu Brahma Randra (pintu gerbang alam Brahma) sedang terbuka lebar. Bilamana momentum itu terjadi? Konon, menurut beberapa pustaka serta pengalaman para praktisi, adalah sejak lewat tengah malam hingga sekitar pukul 03.30 waktu setempat.
Hyang Brahma —yang dalam hal ini bertindak sebagai Hyang Pramesti Guru, Guru Agung Semestaraya— sedang memancarkan kekuatan Cipta-Nya ke 9 penjuru semesta raya (nawa sanga). Pada kesempatan ini pula para pitara menganugrahkan welas-asihnya serta perlindungannya kepada keturunannya. Jadi, memperhatikan semua itu, bukankah tampak betapa idealnya konstelasi kosmik —antara makro dengan mikrokosmis— dengan momentum yang dipilih oleh para yogi Nusantara ini?
Pada saat-saat inilah sang yogiswara memanfaatkan momentum sebaik-baiknya dengan tekad yang bulat dan kokoh, ibarat terpagari (pageh = pagar) dengan pagar-besi, PAGERWESI.
Pada hari ini, juga dianjurkan untuk ber-upavasa seharian (24 jam). Ber-upavasa dan jagra hingga lewat tengah malam untuk memulai upacara, tentu lebih memastikan kelelahan dari jasmani ini. Seperti disebutkan sebelumya, dengan lelahnya jasmani, rokhani menguat; demikianlah keseimbangan yang 'seharusnya' terjadi.
Cobalah praktekkan sekali dalam hidup Anda (bagi yang belum pernah ataupun yang belum berhasil), kali ini saja.
Bulatkan tekad, bangkitkan ketulusan-hati pada sesama makhluk hidup, laksanakanlah Pagerwesi seperti yang diteladani oleh para leluhur.
Bila kita tak ber-upavasa dengan baik seharian (bahkan mungkin sejak 2 hari sebelumnya) dan tidak jagra, besar kemungkinannya kalau kondisi tersebut sulit dicapai. Bila Anda meragukan uraian ini, saya persilahkan Anda mencobanya langsung dengan kesadaran dan pemahaman yang baik. Bila memang terbukti ....bersyukurlah....karma spiritual Anda telah matang; bila belum terbukti, mungkin belum tiba saatnya kematangan itu. Silahkan mencoba lagi!
Semoga bermanfaat adanya.
Semoga kita senantiasa dibimbing dalam Dharma, dalam mengarungi samudra Samsara ini.
Semoga semua pendamba Kesempurnaan Jiwa dan Kebebasan Sejati segera mencapai apa yang dicita-citakan.
CoPas dr http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/ngurah-agung/sebuah-canang-pagerwesi/439203953722