http://www.hukumhindu.com/2011/03/problem-perceraian-umat-hindu-di-bali/
Akibat UU Perkawinan tidak Seimbang Akomodir Adat Bali dan Ajaran Hindu. KASUS perceraian diatur UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada problem di balik aturan hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah perceraian ini. Reaksi kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU ini dinilai tidak mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi hukum adat Bali dan agama Hindu. Aturan ini menegaskan perceraian sah setelah ada putusan pengadilan. Tetapi, ketentuan ini tidak menyertakan peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya dialami warga yang tertimpa musibah perceraian. Walau putusan pengadilan mengesahkan gugatan perceraiannya, tetapi tidak diketahui sebagian besar krama desa dan tidak segera dapat diketahui prajuru desa pakraman.
Forum Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap kristisnya. Selain merespons bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada gelahang, juga masalah upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum ini juga merumuskan pernyataan sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut. Berikut isi rumusan selengkapnya.
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian tersebut, tampak jelas Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Akibat UU Perkawinan tidak Seimbang Akomodir Adat Bali dan Ajaran Hindu. KASUS perceraian diatur UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada problem di balik aturan hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah perceraian ini. Reaksi kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU ini dinilai tidak mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi hukum adat Bali dan agama Hindu. Aturan ini menegaskan perceraian sah setelah ada putusan pengadilan. Tetapi, ketentuan ini tidak menyertakan peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya dialami warga yang tertimpa musibah perceraian. Walau putusan pengadilan mengesahkan gugatan perceraiannya, tetapi tidak diketahui sebagian besar krama desa dan tidak segera dapat diketahui prajuru desa pakraman.
Forum Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap kristisnya. Selain merespons bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada gelahang, juga masalah upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum ini juga merumuskan pernyataan sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut. Berikut isi rumusan selengkapnya.
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian tersebut, tampak jelas Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Apabila terjadi perceraian, terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan. Selain itu, ada penyampaian salinan putusan perceraian atau akta perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.
Selain itu, ada akibat hukum jika terjadi perceraian suami-istri.
Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa. –sam
Sumber : Koran Tokoh