Berikut kutipan wawancara majalah gumi Bali SARAD dengan Agus. S Mantik, seorang tokoh Hindu yang tetap konsisten memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif, baik bagi Hindu secara keseluruhan, maupun bagi Parisada.
Bagaimana Anda menanggapi stigma Balinisasi?
Ketika Pemerintah membentuk Bagian Hindu dalam Departemen Agama Republik Indonesia yang kemudian dibarengi dengan pembentukan Parisada Dharma Hindu Bali (1959) pada tahun berikutnya, satu hal paling penting yang disadari ketika itu adalah bahwasanya Hindu itu tidaklah satu melainkan plural. Hindu itu tidak saja ada di Bali, melainkan hampir di seluruh pelosok Nusantara ini.
Kesadaran itu hanya ada sampai digantinya nama majelis agama ini menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, akan tetapi tidak ada tindakan berarti yang sudah dilaksanakan untuk mengakomodasi pluralisme dalam Hindu ini. Hal ini sebenarnya tidak seluruhnya merupakan kesalahan Hindu etnis Bali: ada berbagai hal yang menyebabkannya akan tetapi yang terpenting adalah bahwasanya karena jumlah yang jauh lebih besar dan juga kesadaran beragamanya sudah lebih kuat maka etnis lainnya melihat Bali sebagai mercu suar dan tumpuan untuk memimpin ke depan.
Harapan ini tidak dilaksanakan dengan baik sehingga ada kesan mengenai Balinisasi dan sebagainya. Padahal, kalau semua memperoleh tempat (yang sejajar) maka Majelis Agama Hindu ini akan memperoleh suntikan gagasan-gagasan dan juga kekuatan moral yang luar biasa besarnya. Hal ini dengan jelas dikatakan oleh Dirjen Bimas Hindu dalam sebuah wawancaranya dengan sebuah majalah Hindu beberapa waktu lalu. Sebuah majelis agama Hindu yang representatif, tempat semua merasa diwakili, adalah keperluan mendesak di masa depan. Malah Dirjen Bimas Hindu melontarkan gagasan mengenai sebuah Majelis Agama yang berbentuk federasi. Menurut saya, ide federasi sangat cocok diterapkan di tubuh Parisada, karena umat di daerah lain sudah cukup otonom dan mandiri. Di samping itu, untuk menghindari dominasi orang Bali di luar Bali.
Parisada itu sesungguhnya organisasi siapa?
Pertanyaan ini dengan jelas dijawab dalam Anggaran Dasar (AD) Parisada sendiri bahwa dia adalah organisasi para pendeta/brahmana dan dalam berbagai penjelasan oleh para petingginya dengan gamblang dikatakan bahwa Parisada dibentuk dengan mengacu kepada Manavadharmasastra. Hal ini sungguh menertawakan sebab di India sendiri tidak ada satu pun organisasi keagamaan yang mengacu kepada sastra ini. Mereka (India) berbuat demikian karena tidak ada suatu kewajiban bahwa sebuah majelis/organisasi agama harus sesuai dengan sesuatu yang bukan sruti yangbahkan sudah ada di zaman ribuan tahun lalu (sudah outdated!). Malahan dalam sruti (Rg Veda) sendiri dikatakan bahwa hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan kemajuan zaman sebaiknya ditinggalkan saja! Pada bagian lain dinyatakan dengan gamblang bahwa sepanjang perkembangannya Hinduisme selalu mencari kebenaran dan tidak pernah bertahan di dalam kepercayaan. Gandhi sendiri berbicara mengenai Tuhan sebagai kebenaran (satyam).
Bagaimana Anda memandang struktur Parisada saat ini?
Dalam berbagai majelis keagamaan, baik besar maupun kecil, acuan membuat struktur organisasi adalah apakah bisa jalan atau tidak. Sebagai contoh, Visva Hindu Parisada (VHP), satu di antara majelis yang besar (mungkin juga paling besar), struktur organisasinya sangat modern, di mana yang tertinggi adalah Board of Trustee (semacam Dewan Pembina). Adapun tugas sehari-hari dijalankan oleh Board of Governors (semacam Dewan Gubernur) di mana salah seorang anggota dewan ini diangkat sebagai ketua yang menjalankan tugas mirip CEO. Bisa dibayangkan di India yang sekuler, di mana pemerintahnya tidak mau tahu dan tidak membantu organisasi agama, VHP memiliki 26.000 lokal sekolah dan organisasinya menyebar sampai ke luar negeri.
Kepastian (sesuai dengan AD) bahwasanya Parisada adalah majelis para sulinggih membawa konsekuensi yang tidak kalah serius bagi masa depan Parisada, sebab di Bali khususnya sulinggih adalah kelompok brahmana yang tugas pokoknya adalah menjalankan upacara dan masalah-masalah yang berhubungan dengan hal itu. Kehidupan keluarga seorang sulinggih ditentukan oleh kelancaran tugas-tugasnya dalam menjalankan upacara. Jelaslah di sini bahwa sulinggih adalah lebih banyak merupakan profesi dan bukan sikap mental, seperti dijelaskan dalam Vajrasucika Upanisad. Dengan demikian ketrampilan sulinggih di Bali lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat upacara dan tidak banyak bersinggungan dengan tattva, masalah keumatan, apalagi pengetahuan yang bersifat perbandingan agama. Padahal, wiweka dalam ketiga hal ini sebenarnya sangatlah penting dalam persinggungan di antara kelompok masyarakat seperti sekarang ini.
Bagaimana idealnya pengurus yang duduk di Parisada?
Demikian banyak waktu yang dihabiskan untuk menjalankan upacara sehingga peran dan waktu sulinggih yang disisakan buat organisasi tentu saja tidak besar. Dengan demikian adalah tidak adil juga apabila Anggaran Dasar Parisada mewajibkan eksekutif yang menjalankan kewajiban sehari-hari (Pengurus Harian) harus penuh waktu. Inilah sesungguhnya masalah paling penting yang harus disikapi di masa mendatang yang dekat ini: apakah Parisada tetap bertahan dalam kepercayaan bahwa mereka yang duduk dalam parisad seperti yang diamanatkan Manavadharmasastra dan sering menjadi acuan para 'pakar'?
Majelis agama sebenarnya memerlukan bukan saja orang-orang yang cakap, yang paham perihal rangkaian masalah yang dihadapi, akan tetapi juga orang-orang yang mau membaktikan keseluruhan waktunya untuk kepentingan umat. Hal ini tidak akan diperoleh oleh kelompok brahmana (baca: pendeta) yang panggilan hidupnya berhubungan dengan masalah upacara (ritual). Tidak di India, tidak di sini, dan di mana pun!
Sejarah setengah abad Majelis Agama Hindu yang bernama Parisada di negara kita sudah membuktikan hal itu. Majelis ini memerlukan orang-orang yang keseluruhan hidupnya ber-yajna, sarva-medha, atau purusa-medha, seperti yang dikatakan dalam sruti. Bagaimana orang-orang seperti itu akan bisa menyambung hidup kesehariannya, makan, keperluan pribadi, dan lain-lain?
Dalam sruti dengan jelas dikatakan bahwa Tuhan berjanji kepada mereka yang membaktikan keseluruhan hidupnya untuk menjalankan pekerjaan-Nya, dia tidak perlu khawatir sebab keseluruhan hidupnya akan ditanggung oleh-Nya. Hanya orang-orang seperti inilah, para sannyasi, yang akan bisa menjalankan roda organisasi yang bernama Majelis Agama, sebab orang-orang yang demikian sajalah yang memiliki waktu dan commitment untuk berjuang melaksanakan pekerjaan Tuhan dan mengosongkan hatinya dari urusan-urusan lainnya.
Bagaimana harapan Anda untuk Hindu ke depan?
Masyarakat Hindu di masa depan harus memupuk hadirnya kelompok orang-orang yang selama hidupnya berkutat dalam hal-hal yang bersifat agama. Kelompok ini ada pada zaman Majapahit dan sangat kuat pada zaman Sriwijaya. Saya bukan mencontoh India saja, akan tetapi pada masa ini hanya di India kita melihat bagaimana peranan para sannyas mempertahankan tradisi yang sudah berumur ribuan tahun ini. Saya bertemu pengurus berbagai majelis agama maupun ordo yang rata-rata tidak terlalu tua, lulusan S3 berbagai perguruan tinggi terkenal, akan tetapi menelusuri kehidupan sebagai sannyas.
http://hindunesia.com/?p=417#more-417
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. br> Cepat sebelum diambil orang lain!