We are all unique individuals. Kita memiliki anggota tubuh, penampilan, dan pikiran yang berbeda dengan orang lain. So be your self !!!

Saturday, February 13, 2010

Agama, Kepribadian Dan Spiritualitas

Oleh : Anatta Gotama, Denpasar

Tak dapat dipungkiri bahwa agama yang dianut seseorang membentuk dasar
"Kepribadian"nya. Seberapa besar IA menerima manfaat dari agama yang
dianutnya, di dalam membentuk Kepribadiannya, ditentukan oleh seberapa
banyak IA berhasil mencerap "nilai-nilai luhur" yang dikandung agama yang
dianutnya.

Dalam banyak hal, kepribadian menyangkut "etika moral" seseorang, maksudnya,
etika-moral yang diterapkan seseorang dalam hidupnyalah yang terpantul
sebagai prilaku yang mencerminkan kepribadian seseorang di Mata orang lain.

Dalam sebuah tulisannya, Ada yang mengelompokkan umat beragama ke dalam 6
kelompok pandang, sesuai dengan sejauh mana seseorang mampu memandang dan
memperlakukan agama yang dianutnya.

Ada yang memandang:
- Agama sebagai Organisasi Sosial.
- Agama sebagai Ajaran Etika Moral.
- Agama sebagai Ajaran Spiritual-Religius.
- Agama sebagai Ajaran Spiritual-Filosofis.
- Agama sebagai Pandangan Hidup.
- Agama sebagai Jalan Kesempurnaan Dan Kelepasan.

Secara konstekstual, dari ke-enam kelompok pandang ini, yang terkait
langsung dengan Kepribadian adalah, memandang agama sebagai "Ajaran Etika
Moral". Lebih jauh disebutkan bahwa, memandangnya sebagai ajaran yang
memberi bimbingan etika-moral, para penganutnya mengekpresikan tuntunan
etika-moral yang diajarkan, dalam prilakunya. Beragama bagi mereka adalah
penerapan etika-moral sesuai ajaran yang dianut. Disini tampak jelas adanya
benang merah antara Agama - Eika Moral - Kepribadian.

Kepribadian Dan Penampilan

Seseorang tampil beda di Mata orang lain sesuai kepribadian masing-masing.
Mereka yang murah senyum, ramah, terbuka, pendengar yang baik, penuh
pengertian, punya tenggang-rasa, polos, murah hati, sederhana, jujur, mudah
beradaptasi dengan lingkungan, berani Dan mau mengalah, cerdas, disenangi
oleh banyak orang Dan dapat dijadikan sahabat yang baik.

Dalam sebuah makalahnya, yang berjudul " Penampilan sebagai Penunjang
Keberhasilan", Kusumadewi mengemukakan bahwa, penampilan yang baik akan
lebih memukau, jika disertai dengan pancaran kepribadian yang menyenangkan.

Dalam makalah yang sama, IA juga mengajukan "10 - Pedoman Pokok", yang dapat
membuat orang lain menyukai Anda sepenuh hati. Kesepuluh pedoman yang
dipetik dari buku Dr. Dale Carnegie berjudul "How To Win Friends And
Influence People" tersebut adalah:
1) Hindari kebiasaan mengkritik seseorang, karena berbagai kekurangan,
kekeliruan Dan ketidaktahuannya.
2) Hargai orang lain dengan tulus Dan sejujurnya.
3) Biasakanlah selalu tersenyum.
4) Dalam pergaulan, usahakan dapat 'mengingat nama' orang yang pernah
dikenal atau pernah diperkenalkan. Oleh karena, namanya adalah kata terindah
yang diucapkan orang lain ditelinga.
5) Dalam berbicara dengan orang lain, usahakan menjadi pendengar yang baik.
Doronglah IA agar mengungkapkan sebanyak-banyaknya tentarig dinnya,
persoalannya Dan kepentingannya.
6) Dalam berbicara dengan orang lain, tempatkan kepentingannya dalam fokus
pernbicaraan. Dengan kata lain, lakukan pembicaraan Dan kacamata kepentingan
yang bersangkutan.
7) Dalam menghadapi orang lain, usahakan agar orang lain merasa dirinya
penting, Dan lakukan itu dengan setulus-hati, bukan dibuat-buat.
8) Jika Anda bersalah, segera akui kesalahan tersebut dengan jujur Dan
rendah hati.
9) Hargai pendapat orang lain, walaupun Anda tidak sependapat.
10) Jangan salahkan orang lain dengan cara mempermalukannya. Meskipun orang
tersebut bawahan Anda atau pembantu Anda sekalipun.

Kesepuluh pedoman pokok Dan Dale Carnegie di atas dapat dilaksanakan setiap
orang, jika yang bersangkutan memang bertekad ingin meningkatkan pesona
kepribadiannya. Hambatan untuk mengikuti kesepuluh pedoman di atas biasanya
adalah 'kesibukan'. Ketika kesibukan memuncak, Kita cenderung menjadi 'tidak
sabar'. Ketidak-sabaran sering mendorong seseorang lupa menempatkan dirinya
dalam suatu keselarasan Dan keseimbangan dengan perasaan Dan kepentingan
orang lain.

Memang Kepribadian adalah salah satu komponen utama "inner beauty" seseorang
disamping Kecerdasan-nya. Oleh karenanya, IA kini menjadi salah satu bidang
yang diajarkan dalam institusi pendidikan Dan pelatihan formal maupun
informal, khusus untuk itu antara bagaimana seseorang memandang agama yang
dianutnya, Dan menjadikan ajaran etika-moralnya sebagai pedoman hidup, serta
penampilan Dan kepribadiannya secara menyeluruh.

Agama Dan Spiritualitas

Bagi awam, bisa jadi antara pengertian agama Dan spiritualitas serasa kabur.
Para agamawan seringkali bicara soal spiritual, sementara kaum spiritualis
juga sering kali berpijak Dan mengacu pada ajaran agama tertentu, yang
dianutnya. Fakta ini menambah kebingungan awam tentang yang mana ajaran
spiritual Dan yang mana doktrin atau ajaran agama.

Kendati dalam ajaran-ajaran agama terkandung ajaran spiritual, namun
ternyata tidak semua ajaran-ajaran agama atau aktivitas keagamaan langsung
dapat atau digolongkan ajaran atau merupakan laku spiritual. Ajaran
etika-moral, misalnya, diajarkan pada setiap agama besar di dunia, namun
hingga Batas-Batas tertentu IA bukanlah ajaran spiritual.

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran etika-moral dan suatu agama-lah yang
akan lebih tampak di permukaan, lebih kasat indriya, oleh karena IA
tercermin dalam tingkah-laku dari penganutnya. Ia secara langsung dapat
dirasakan nilai manfaatnya, baik bagi pribadi yang bersangkutan maupun bagi
lingkungan sosial dimana mereka berinteraksi. Di Mata kebanyakan orang,
bahkan ajaran etika-moral itulah yang dinobatkan sebagai keseluruhan dari
ajaran agama itu sendiri. Ungkapan seperti: "Prilakunya sama sekali tidak
mencerminkan prilaku umat beragama" Dan semacamnya, mewakili pandangan
kebanyakan orang terhadap apa ajaran agama itu di mata mereka.

Di kalangan umat Hindu di Indonesia, ajaran etika-moral disebut susila. Ia
merupakan salah-satu dari tiga kerangka landasan utama umat Hindu, dalam
kehidupan religiusnya. Dua kerangka landasan utama lainnya masing-masing
adalah : ritual atau upacara dan ajaran kefilsafatannya sendiri atau tattwa.
Dalam prakteknya, upacara-lah yang tampak menonjol, seperti juga susila
dalam pergaulan sosial. Ajaran kefilsafatannya, disamping memang bersifat
pribadi dan tak tampak dipermukaan, rupanya juga kurang mendapat perhatian
yang proporsional.

Di antara ketiga kerangka landasan utama tadi, dimanakah terkandung ajaran
teori maupun praktek spiritualitas Hindu? Mungkin timbul pertanyaan demikian
di benak Anda. Dalam Hindu ia termaktub dalam ketiganya, dalam derajat
penekanan yang berbeda-beda. Maksudnya, bila dalam susila ia berupa larangan
ataupun anjuran, pengekangan indriya, pengendalian diri, pensucian-diri
serta peraturan tingkah-laku pendukung lainnya, yang dalam praktek spiritual
Yoga, disebut Yama-Niyama, maka dalam upacara termaktub praktek
persembahyangan, upasana, perafalan japa-mantra, pranayama, meditasi atau
dhyana, perenungan suci atau vichara dan lain sebagainya. Dalam tattwa,
jelas termaktub substansi landasan filosofis dan praktek spiritual itu
sendiri, yang juga melandasi ajaran etika-moral hingga praktek ritualnya.

Dalam ceramah bulan Juni 2000- nya, Swami Krishnananda-Sekjen. The Divine
Life Society -- antara lain mengatakan: "Agama dan spiritualitas adalah dua
faktor penentu didalam mencapai nilai kehidupan yang lebih tinggi". Beliau
menyebutkan 'nilai kehidupan' disini, dan bukannya, secara terbatas,
mencapai kesejahteraan hidup ataupun mencapai sorga ataupun menghindari
neraka. 'Nilai kehidupan yang lebih tinggi', mempunyai arti yang jauh lebih
luas, dibandingkan sekedar kesejahteraan hidup di dunia atau masuk sorga
sekalipun.

Pernyataannya itu dilengkapi lagi dengan penjelasan : "Kedua fungsi
panggilan di dalam ini bagi manusia, berkaitan erat dengan kehidupan di
dunia dan kehidupan dalam Tuhan. Hubungan antara dunia dan Tuhan juga adalah
hubungan agama dengan spiritualitas. Disebutkan bahwasanya Tuhan
memanifestasikan Diri-Nya sebagai dunia. Oleh karenanya, dengan cara yang
sama, kita dapat mengatakan bahwa spiritualitas memanifestasikan diri
sebagai agama".

Dengan jelas dapat dipahami dua hal penting sehubungan dengan agama dan
spiritualitas. Yang pertama adalah, bila agama berkaitan erat dengan
kehidupan duniawi, maka spiritualitas justru lebih berkaitan dengan
kehidupan ketuhanan dan realisasi Kesadaran Tuhan itu sendiri. Yang kedua
adalah, spiritualitas mempunyai lingkup yang lebih luas, lebih tinggi, lebih
halus dan transendental ketimbang agama, sejauh agama merupakan manifestasi
dan spiritualitas. Jadi, guna merefleksikan rasa spiritialitas kitalah kita
menganut dan mematuhi ajaran-ajaran agama. Namun dalam kehidupan sehari-hari
seringkali justru kita saksikan yang sebaliknya.

Baik dalam Hindu maupun dalam Buddha, pengertian yang benar' terhadap ajaran
menempati posisi yang sangat penting. Bukan saja dalam praktek religiusitas
saja, dalam kehidupan sehari-haripun sesungguhnya juga demikian. Obat
misalnya, apalagi bila ia adalah obat-keras, tidak akan sepenuhnya
bermanfaat demi kesehatan bilamana kita tak mengetahui bagaimana
aturan-pakainya secara benar. Bila tidak, jangan-jangan kita malahan bisa
overdosis. Sebetulnya banyak contoh-contoh lain untuk dikemukakan disini,
yang dapat kita saksikan kehidupan sehari-hari di lingkungan masing-masing,
sehubungan dengan betapa pentingnya 'pengertian yang benar' dalam kehidupan
sehari-hari.

Dalam agama, dimanakah pengertian yang benar itu bisa kita peroleh? Ia dapat
kita temukan dalam ajaran-ajaran ke-filsafatan-nya, dalam Hindu ia diperoleh
dalam tattwa-tattwa atau darshana-darshana. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, kedua kerangka landasan utama Hindu lainnya (susila dan upacara)
secara kokoh berlandas pada ajaran filsafat Hindu itu sendiri. Teks yang
memuat ajaran kefilsafatan Hindu ada banyak jumlahnya. Mereka secara
mengkhusus berupa kitab-kitab Upanishad dan kitab-kitab Darshana, disamping
secara parsial dapat juga ditemukan di dalam bentuk sajian Veda-veda lainnya
seperti : Itihasa, Agama (bukan padan-kata dari religion), Shastrashastra
dan Tattwa. Yang disebutkan terakhir agaknya khas Nusantara.

Dari tinjauan sekilas kita tentang agama dan spiritualitas ini, disamping
kita dapat melihat keterkaitan-eratnya, juga tampak bahwasanya seorang
spiritualis tidaklah secara otomatis dan harus sebagai anggota atau umat
agama terorganisasi tertentu; namun sebaliknya, akan terasa 'kurang' bila
dalam praktek keagamaan umatnya -- hingga batas-batas tertentu -- tidak
mempraktekkan laku spiritual (sadhana) atau menerapkan ajaran spiritualitas
dalam kehidupan beragamanya.•

WHD No. 424 Juni 2002.

No comments: