Bank Indonesia atau BI rate sudah turun sampai dengan level 6,5% tidak
dibarengi dengan turunnya suku bunga pinjaman bank. Suku bunga pinjaman pada
Agustus 2009 masih berkisar pada level 14%. Para ahli ekonomi nasional
mencoba menjelaskan dengan berbagai analisisnya mengapa bisa terjadi seperti
itu, ada ekonom yang mengatakan hal itu disebabkan karena kebijakan
penurunan BI rate bertubrukan dengan kebijakan Menteri Keuangan yang
menerbitkan surat utang dengan tingkal imbal hasil atau yield sampai 13%.
Dan ada juga ekonom yang mengatakan hal tsb karena terhambatnya laju
pertumbuhan suplay uang ke system ekonomi kita, sehingga di tengah
permintaan uang naik tapi suplai uang yang berkurang menyebabkan suku bunga
pinjaman sulit untuk turun.
Apapun jawaban analisis para ekonom nasional tsb semuanya dibenarkan oleh
ahli keuangan dan perbankan dari Columbia Univesity , Prof.Frederic S
Mishkin. Dalam bukunya yang berjudul " The Economics of Money, Banking and
Financial Markets " pada Bab tentang Perilaku Suku Bunga , Ia menjelaskan
bahwa suku bunga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan obligasi
negara/swasta dan juga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan uang dalam
system perekonomian. Ia juga mengakui bahwa tingkat suku bunga sangat
berfluktuasi tajam dan sangat sulit diprediksikan kapan naik dan turunnya,
seringkali para ahli yang paling top sekalipun meleset dalam meramal tingkat
suku bunga.
Tingginya tingkat volatilitas suku bunga tsb mengakibatkan tingginya tingkat
ketidakpastian dalam finansial market sehingga mendorong para pemberi
pinjaman dan peminjam uang meninggalkan sector riil , uang hanya beputar
dari satu instrument finansial ke instrument lainnya tanpa pernah
bersinggungan dengan aktivitas produktif. Keadaan ini membuat finansial
market semakin aktif dan memanas yang merupakan salah satu penyebab
ketidakstabilan ekonomi.
Dengan melihat kondisi seperti itu sebenarnya sudah cukup mematahkan
justifikasi kalangan kapitalis bagi bunga yang dibebankan oleh kreditor
kepada debitor dengan menginterprestasikannya sebagai hak modal atas
sebagian profit yang dituai debitor berkat uang yang dipinjamnya, karena
pada kenyataannya debitor banyak yang memakai uang pinjamannya bukan untuk
aktivitas produktif (sector rill) seperti perniagaan barang dan jasa tapi
untuk memutarkan uang tsb pada sector yang berbau spekulatif seperti untuk
mengambil keuntungan pada instrument finansial market.
Kita tentu masih ingat, pada waktu MUI pada tahun 2003 mengeluarkan fatwa
bunga bank haram, banyak kalangan intelektual termasuk sebagian ulama yang
menentang fatwa MUI tsb dengan menjustifikasi atas bunga yang dibebankan
oleh kreditor kepada debitor merupakan hak modal atas sebagian profit yang
dituai debitor berkat uang yang dipinjamnya. Sehingga masyarakat muslim
Indonesia banyak yang percaya kalau system bunga kapitalis adalah tidaklah
haram dengan tetap menyimpan uangnya di bank yang memakai system bunga.
Inilah yang merupakan salah satu yang menghambat dalam perkembangan bank
syariah nasional sekarang ini, yaitu pola fikir masyarakat muslim Indonesia
yang tidak tepat dalam memandang system bunga kapitalis.
Dalam Islam, bukannya tidak mengakui hak modal atas sebagian profit yang
dituai debitor tapi caranya adalah dengan system profit sharing (bagi hasil)
atau yang disebut dengan persekutuan mudharabah., dimana pemilik modal
(penabung/deposan) hanya akan mendapatkan keuntungan bila bank memang
mendapatkan keuntungan dari sector riil. Ini berbeda dengan mengakui hak
modal dengan system bunga kapitalis yang menggaransi pendapatan bagi pemilik
modal (penabung/deposan) tanpa melihat hasil yang dicapai oleh bank dalam
menyalurkan pembiayaan (kredit).
Sebagai penutup tulisan artikel saya ini, saya ingin menegaskan sekali lagi
bahwa sebenarnya banyak sekali justifikasi kalangan kapitalis atas bunga.
Namun yang paling kuat yang mampu meyakinkan masyarakat muslim di Indonesia
system bunga tidaklah haram, adalah justifikasi kalangan kapitalis atas
bunga yang dibebankan oleh kreditor kepada debitor merupakan interprestasi
sebagai hak modal atas sebagian profit yang dituai debitor berkat uang yang
dipinjamnya. Padahal pada kenyataannya debitor banyak yang memakai uang
pinjamannya bukan untuk aktivitas produktif (sector rill) seperti perniagaan
barang dan jasa tapi untuk memutarkan uang tsb pada sector yang berbau
spekulatif seperti untuk mengambil keuntungan pada instrument finansial
market.
Untuk mendorong kemajuan ekonomi bangsa dengan menggerakkan sector riil
bukanlah dengan system bunga tapi dengan system bagi hasil (profit sharing)
karena system bagi hasil pada bank syariah mengharuskannya adanya sector
riil yang dibiayai (underlying assetnya).
Ya Allah Maha Suci Engkau tidak ada ilmu pada diriku kecuali yang telah
Engkau Ajarkan kepadaku sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha
Mengetahi.
Salam
Al-Faqir
Alihozi http://alihozi77.blogspot.com
Bagi yang ingin mengajukan KPR BMI bisa menghubungi Ali Hp:0813-882-364-05 atau email ali.hozi@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment