Wajah Alexander Hamilton tercetak di uang kertas sepuluh dollar Amerika.
Dialah orang pertama yang menjadi pejabat sekelas pemimpin puncak Bank
Indonesia. Dia mendesain sistem keuangan negeri itu dan merupakan pahlawan
dalam perang revolusi. Tapi, ketika sejumlah nama diperhitungkan sebagai
American Founding Fathers, Hamilton tidak termasuk di antaranya. Mengapa?
Kesombongan.
Sikap Hamilton yang mementingkan diri sendiri dan ketidakmampuannya
mengatasi performance feedback dari orang-orang yang bekerja dengannya
menyabot karirnya. Ego benar-benar telah membunuhnya. Ini bukan ungkapan.
Dia tertembak dan terbunuh ketika terjadi duel dengan politisi Aaron Burr.
Kepemimpinannya jauh dari efektif dan rekonsiliasi tidak ada dalam kamusnya
ketika berada dalam perselisihan pendapat dengan rekan kerja. Sikap tidak
menerima masukan tertumpuk menjadi tembok batu dan membayangi hubungannya
dengan orang lain. Kesombongan mendahului kehancuran, pepatah kuno ini
terbukti.
Problem Terbesar
Pride dalam Bahasa Inggris bisa berarti harga diri dan penghargaan pada diri
sendiri. Saya lebih suka menggunakan istilah Self-Image atau Gambar-Diri
untuk pengertian ini. Tapi, pride juga bisa berarti kejahatan mematikan yang
mempertontonkan kesombongan dan arogansi. Ketika seseorang dipenuhi oleh
kesombongan, ia akan menjadi kaku, keras kepala dan menciptakan perselisihan
dengan orang lain. Kesombongan menghalangi pemimpin mengenali kekuatan
anggota tim. Karena sikapnya yang self-centred, berpusat pada diri sendiri,
ia gagal mengapresiasi kekuatan mereka. Dia merendahkan manfaat kerja sama,
dan mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menyelesaikan masalah dan
memajukan organisasi.
Kesombongan juga mendorong kita menjadi sulit diajar. Pemimpin yang merasa
sudah menguasai semua hal tidak tertarik untuk mengalami pertumbuhan pribadi
Egonya menuntun dia untuk yakin bahwa dia telah tiba di puncak dan menolak
untuk belajar dari kehidupan, dari orang lain maupun dari setiap situasi
yang dihadapinya. Kesombongan juga menutup pintu hati dari umpan balik orang
lain pada kita. Stephen Covey menulis di bukunya yang terkenal The Seven
Habits of Highly Effective People, "It takes humility to seek feedback. It
takes wisdom to understand it, analyze it, and appropriately act on it."
Ketika pertama kali bekerja dengan pemimpin saya, feedback yang saya terima
sangat menyakitkan. Pola pikir masing-masing seperti jurang lebar yang
panjang dan tidak jelas titik temunya. Satu tahun saya membangun tembok batu
dan interaksi sehari-hari semakin tajam. Sampai suatu titik saya tidak kuat
lagi memelihara kesombongan yang mengacaukan efektivitas kepemimpinan.
Memilih untuk melakukan apa yang Covey katakan memberi kelegaan. Memeluk
kerendahan-hati dengan mengakui kesombongan serta meminta maaf kepada
pemimpin. Malu hati? Pasti. Tapi, tidak layak dipertahankan, karena kelegaan
yang saya alami jauh lebih berharga. Satu wisdom saya peroleh, semakin hari
semakin mudah menerima feedback, karena kerendahan-hati mulai bekerja hari
demi hari. Belum sempurna, karena terkadang hati masih terasa panas.
Feedback dan kritikan tetap berlangsung sampai hari ini. Tepi, ada perubahan
respon karena kesadaran emosi mulai bertumbuh.
Mengakui kesalahan juga merupakan penghalang terbesar seorang pemimpin
menjadi efektif. Teriakan Duke of Wellington kepada bawahannya menjadi
lelucon korporasi, "God knows I have many faults, but being wrong is not one
of them!" Kesombongan tidak memberi ruang untuk gagal. Boss will never be
wrong. Salahkan orang lain dan tolak bukti kesalahan, inilah filosofi
kesombongan.
Kesombongan akan mencegah Anda mengalami hidup yang lebih baik. Lebih baik
mempertahankan status quo daripada terbuka kepada pembaharuan. Apalagi bila
perubahan dilakukan pemimpin baru yang ingin merombak sistem yang
dibangunnya. Bertahan dengan kantong kulit tua akan membuatnya pecah ketika
anggur baru dituang di organisasinya. Akan sulit bagi pemimpin membuat
rencana pengembangan potensi pribadi, karena kesombongan menghalanginya
untuk melakukan self-assessment. Jalan menuju visi hidupnya tidak tampak.
Kesombongan tidak mengizinkan ia menjadi pribadi yang maksimal. Ketika
menderita dikendalikan oleh kesombongan, setiap hari memikirkan kritikan
atasan. Setelah mengakui kesalahan dan meminta maaf, fokus shifting kepada
visi organisasi dan visi pribadi.
Yang paling tragis, kesombongan menghancurkan hubungan. Lawan kata dari
menghargai orang lain bukanlah membenci orang lain tapi mementingkan diri
sendiri. Ketika pemimpin menjadi self-absorbed atau fokus terhadap hidup dan
kepentingan diri sendiri, ia akan mengisolasi dirinya dari kehangatan
hubungan dengan orang lain. Kepedulian sejati terhadap orang lain bukan
diuji dengan berapa besar kesetiaan kita kepadanya ketika ia jatuh. Apakah
kita merasakan semangat kegembiraannya ketika ia sukses, itulah ukuran
kepedulian sejati.
Salah satu klien saya tidak mendapatkan promosi jabatan selama enam tahun
sekali pun prestasinya diakui. Penderitaannya sangat terasa sehingga saya
turut prihatin dan berharap bersamanya. Ketika ia memberitakan promosinya
tahun lalu, tidak ada kegembiraan melebihi rasa syukur saat ia mengalami
salah satu terobosan hidup: bertekun dalam penantian. Bukan saya otoritas
yang memberinya promosi atau pembawa kabar baik itu. Tapi, saya peroleh
wisdom: ketika saya turut dalam penderitaannya dengan memberi pengharapan
dan dorongan, saya turut serta dalam kegembiraannya. Ini memberi gairah baru
untuk semakin berfokus kepada keberhasilan orang lain mengalami pertumbuhan.
Bagaimana Memperbaikinya?
Pepatah kuno berkata, "Bila kesombongan menguasai seseorang, ia akan
merendahkan orang lain. Tapi, di mana ada kerendahan-hati, wisdom akan
mengikutinya."Salah satu cara memperoleh kerendahan-hati dimulai dengan
mengakui kesombongan kita. Rendah hati adalah lawan kata sombong. Inilah
demonstrasi sikap kita menghargai orang lain dan memuliakan Penguasa Tunggal
hidup kita.
Setelah mengakui kesombongan, carilah tuntunan dan koreksi. Latih diri
menjadi pribadi yang mudah diajar dan dibentuk. Selain itu, jadilah pelayan
bagi orang lain dengan memenuhi kebutuhan utamanya: kata-kata yang
mengangkat kekuatan batin. Bersyukur atas posisi kepemimpinan dan bersyukur
atas sejumlah bawahan yang dipercayakan kepada kita juga akan menolong
menghancurkan ego. Bagaimana dengan mentertawakan ego yang selalu berusaha
menguasai kita? Baik juga untuk meningkatkan self-awareness.
Setiap Anda masuk dalam peran kepemimpinan, ingatlah Alexander Hamilton.
Kita bisa saja memiliki banyak pencapaian namun tanpa kerendahan-hati dan
bersyukur, pemimpin dalam diri kita tidak menjadi maksimal. Membereskan
problema kesombongan akan meningkatkan hubungan-hubungan Anda dan mengangkat
kredibilitas sebagai pemimpin.
No comments:
Post a Comment