We are all unique individuals. Kita memiliki anggota tubuh, penampilan, dan pikiran yang berbeda dengan orang lain. So be your self !!!

Thursday, January 21, 2010

Belajar Menjadi Tua

BELAJAR MENJADI TUA...
"KENAPA SEMAKIN TUA KITA SEMAKIN PAYAH BELAJAR ?"
Itu adalah keluhan seorang sahabat saya. Dan banyak lagi keluhan semacam itu

yang pernah daya dengar dari beberapa teman dan kenalan lain.
Trus...kalau sudah tua, memangnya tidak perlu belajar ?

Memang, secara fisik ada penurunan kemampuan. Ada penyakit-penyakit yang
menyebabkan daya ingat berkurang. Tetapi dengan melatih cara berpikir yang
benar dan berstruktur, maka kemampuan belajar orangtua tidak akan kalah
dengan kemampuan belajar generasi yang lebih muda. Malah ada keuntungan
menjadi orangtua, yaitu memiliki pengalaman dan data yang lebih banyak.
Hanya saja...seperti gudang, pengalaman dan pemikiran-pemikiran ini juga
mesti diseleksi. Mana yang tidak perlu, buang saja ! Seperti di dalam
komputer, itu hanya memenuhi memori, dan akhirnya mengganggu kelancaran
metabolisme berpikir kita.

Bagaimana cara 'membuang' pemikiran yang tidak berguna ?
Biasanya 'orangtua' ini suka merasa dirinya 'sok tua'. Padahal yang disebut
'tua' juga relatif. Bisa saja umur 30 tahun merasa 'tua', sementara yang
umur 40 tahun merasa masih muda. Jadi yang disebut 'tua' itu tidak mesti
berurusan dengan umur, namun lebih banyak berkaitan dengan interpretasi dan
nilai-nilai kehidupan.

Yang jelas, kalau sudah bicara sok tua, berarti ada 'muatan emosi negatif'
di dalam pemikirannya. Dan biasanya ada nada-nada 'tinggi' yang muncul bila
berhadapan dengan orang yang lebih muda. Misalnya akan muncul kalimat begini

"Waah, kan saya lebih berpengalaman dari dia. Seharusnya dia mendengarkan
saya !"

Ini adalah 'emosi negatif' yang merupakan interpretasi kita. Memangnya kalau

lebih muda, tidak boleh lebih berpengalaman ? Atau, kalau lebih tua
memangnya harus selalu dituruti ?
Emosi negatif ini seperti sampah di dalam gudang pemikiran kita, sehingga
akan mengotori pemikiran-pemikiran lain yang lebih berguna. Bukan hanya
sekedar sampah, tetapi lama kelamaan akan menjadi racun pikiran. Yang
membuat kita akan menutup diri dari informasi baru. Membuat kita membeku
seperti batu. Yang diam membisu, dan akhirnya benar-benar tidak berguna lagi


Untuk membuang sampah emosi negatif ini, kenapa kita tidak berpikir seperti
ini." Waaah, anak muda ini luar biasa. Walaupun saya lebih berpengalaman,
tetapi dia lebih sistematis cara berpikirnya. Saya mau belajar dari dia
untuk menambah pengetahuan dan pengalaman saya!"
Rasa ingin tahu, rasa ingin belajar, itu membuat kita bergairah. Dan gairah
itu adalah 'emosi positif' yang mendorong kita untuk membuka diri. Emosi
positif itu juga seperti barang baru di dalam gudang pemikiran kita. Bahkan
lebih jauh lagi, dia ibarat alat penjernih air, yang dapat merubah air kotor

menjadi air layak minum.

Kadang-kadang kita memang cenderung merasa bahwa pertambahan umur akan
sejalan dengan pertambahan kematangan emosi. Tetapi nyatanya tidak selalu !
Pertambahan kematangan emosi tidak terjadi begitu saja. Tidak seperti umur
yang mengalir setiap detik, tanpa bisa kita hentikan. Sampai nanti umur kita

selesai, dan game over !

Pertambahan kematangan emosi, harus dilatih. Seperti seorang penari atau
olahragawan yang membutuhkan latihan agar gerakannya luwes dan mantap,
seseorang yang memiliki muatan emosi di dalam dirinya pun harus melatih
emosi itu agar seimbang dan luwes menghadapi perubahan.
Kenapa perlu mematangkan emosi ?

Seperti yang diuraikan di atas tadi, emosi negatif mempengaruhi pikiran.
Emosi negatif akan menggerogoti cara berpikir. Tak sekedar menjadi lamban,
karena virus emosi. Tetapi juga tidak bisa berkembang menjadi lebih
bijaksana. Emosi negatif pun akan mempengaruhi sikap dan perilaku.
Emosi negatif akan mempengaruhi persepsi, sehingga kita akan memandang dunia

ini hanya dari sisi gelap dan sisi buruk saja. Persepsi ini akan
mempengaruhi sikap kita, menjadi selalu negatif. Menjadi selalu menggerutu.
Menjadi tidak pandai bersyukur.

Emosi negatif ini juga membuat kita gampang ngambek. Dan seperti bumerang,
yang kembali kepada pelemparnya, maka emosi negatif ini akan selalu kembali
menyerang diri kita. Dampaknya sudah jelas. Kita jadi pemarah, pemurung,
malas berpikir, menarik diri, atau bahkan jadi penyerang gelap di
tempat-tempat yang terbuka. Artinya, kita selalu menabuhkan genderang perang

di dalam kehidupan kita.

Kembali kepada kemampuan belajar dan emosi negatif.
Kalau kita memang mau belajar, yang pertama kita lakukan adalah 'buang
sampah emosi negatif' itu. Bersihkan diri dengan introspeksi dan perenungan.

Temukan sudut-sudut bersih di dalam hati, untuk menempatkan hal-hal positif
yang mendukung pengembangan diri kita.

Oya...obat paling gampang untuk membuang emosi negatif itu, belajarlah untuk

selalu tersenyum.. Apa pun kondisi yang kita alami.
Senyum tulus akan mencerahkan hati kita. Dan membasmi emosi negatif yang
bersarang dan menumpuk di dalam hati serta pikiran kita.
Selamat belajar. Selamat menjadi 'orangtua' yang selalu penuh semangat dan
full senyum...

Jakarta, 18 Oktober 2009
Salam sayang,

Ietje S.. Guntur

No comments: