We are all unique individuals. Kita memiliki anggota tubuh, penampilan, dan pikiran yang berbeda dengan orang lain. So be your self !!!

Wednesday, January 20, 2010

Orang Bodoh yang Beruntung

Oleh : Gede Prama

Bagi sejumlah orang pintar yang menganggap dirinya layak menjadi menteri,
bulan Oktober 2009 adalah bulan mendebarkan. Ada yang mulai menghitung
kancing: dipilih, tidak, dipilih, tidak.

Andaikan rambu-rambu etika memungkinkan, bisa jadi banyak calon menteri akan
meniru calon anggota legislatif yang memasang iklan: "pilih saya karena
lebih pintar". 0rangtua juga serupa, tidak ada yang berdoa agar anaknya
bodoh kelak.

Ribuan tahun lalu, saat manusia mulai mengagumi kepintaran, tidak
terbayangkan jika kepintaran akan bersahabat dengan kehancuran. Perhatikan
skandal-skandal besar yang mengguncang dunia, teror, dan perang yang memakan
banyak nyawa manusia, tidak ada yang dilakukan orang-orang desa yang "bodoh"
Semua diotaki orang kota yang berpendidikan tinggi.

Dari sini, terlalu dini menyimpulkan bahwa kepintaran itu berbahaya. Orang
pintar berperilaku jahat ada, orang pintar dengan perilaku menyentuh juga
ada. Pertanyaannya, mengapa kepintaran kian bersahabat dengan kelicikan dan
keruntuhan?

Perhatikan sebagian percakapan di antara orang-orang pintar. Begitu
kepentingannya tidak terpenuhi, dicarilah argumen yang bisa meruntuhkan
orang lain. Sebaliknya, jika kepentingannya terakomodasi, pendapat yang
diungkapkan cenderung yang mendukung. Maka di Barat terjadi keruntuhan
kepercayaan besar-besaran terhadap orang pintar yang membuka pintu pada
munculnya budaya tanding. Sekaligus menghadirkan dahaga mendalam akan
kebijaksanaan Timur yang berisi kejujuran, ketulusan, dan kerendahhatian.

Di Timur gejala ke arah itu ada. Thailand adalah sebuah guru. Munculnya
orang pintar seperti Thaksin Shinawatra sempat mencuatkan kemajuan sebentar.
Namun, sebagaimana perilaku kepintaran yang mengundang kepintaran lain untuk
melawan, Thaksin diturunkan oleh dugaan skandal, diikuti berkali-kali
kekacauan yang menakutkan. Malaysia dengan cerita Anwar Ibrahim, Iran yang
memanas pascapemilihan presiden, Madagaskar yang ditandai banyak kudeta,
hanya sebagian gejala yang mungkin membukakan datangnya budaya tanding di
Timur.

Karena itu, tanpa persiapan dan kepekaan cukup, Indonesia berpotensi
dikacaukan oleh hadirnya budaya tanding. Perhatikan orang-orang pintar yang
diberi kesempatan oleh reformasi untuk mengubah keadaan di birokrasi.
Sebagian keluar dari gelanggang tanpa tanda-tanda kemenangan. Sebagian kecil
masuk lembaga pemasyarakatan karena terjaring perkara korupsi. Melihat
kecenderungan ini, menakuti kepintaran bukan jalan keluar yang disarankan.

Suara kebijaksanaan

Tetua di Jawa punya pesan indah sekaligus menggugah. Orang bodoh kalah sama
yang pintar. Manusia pintar ditaklukkan oleh orang licik. Namun, ada jenis
manusia yang tidak bisa ditaklukkan oleh kelicikan, yakni orang beruntung.
Mungkin itu sebabnya tersisa banyak orang Jawa yang senantiasa beruntung.
Bila kecelakaan patah tulang, untung patah tidak mati. Jika mati, untung
mati tidak cacat.

Bagi sejumlah orang pintar, cara memandang kehidupan yang penuh
keberuntungan seperti ini mudah diberi judul tolol. Ada yang mengejek dengan
tawa. Namun, bagi penekun kebijaksanaan, wajah kehidupan yang penuh
keberuntungan adalah tanda-tanda jauhnya penggalian seseorang ke dalam
dirinya.

Pertama, ia menjadi pertanda bertekuk lututnya hawa nafsu yang mau semua
serba sempurna.

Kedua, terbukanya pintu kehidupan yang jauh lebih luas dari sekadar
mementingkan diri.

Ketiga, seperti anak ayam yang keluar bebas dari telur, demikian juga
manusia yang melihat keberuntungan di mana-mana. Ia sudah terbebas.
Setidaknya terbebas dari kepintaran yang picik, sekaligus kelicikan yang
tidak mendidik.

Maka ada yang berpesan, bila anak ayam dipenjara kulit telur, manusia
dikerangkeng oleh kepicikannya. Perbedaan antara yang tercerahkan dan yang
tak tercerahkan adalah perbedaan antara keterbukaan dan kepicikan, demikian
kira-kira bunyi pesan aslinya. Untuk itu, banyak kursi birokrasi sekaligus
korporasi yang rindu sekaligus lapar akan orang-orang bodoh yang beruntung
(baca: keseharian yang bersahabatkan pelayanan dan keterbukaan. Beruntung
karena keterbukaan dan pelayanan mudah sekali menghadiahkan kebahagiaan).

Bagi sebagian orang pintar, pelayanan hanya pekerjaan orang rendah.
Keterbukaan pikiran kerap dicaci dengan ketiadaan sikap. Ini bisa terjadi
karena kepintaran menghargai diri amat tinggi, meletakkan pelayanan sebagai
sesuatu yang rendah. Kepintaran membuat kotak. Yang cocok dengan kotak jadi
teman, yang tidak cocok disebut musuh.

Padahal, sebagaimana dialami bersama, kehidupan bergerak tanpa kotak.
Seperti melihat Indonesia, bila ukuran yang digunakan adalah Singapura,
apalagi China, Indonesia hanya negara yang tidak diurus. Bila acuannya
adalah negara-negara yang baru mengenal telepon genggam seperti Afganistan,
Kamboja yang ibu kotanya berisi sedikit lampu pengatur lalu lintas, apalagi
sebagian Afrika yang harapan hidupnya 39 tahun, Indonesia memiliki banyak
hal yang layak disyukuri. Keinginan maju selalu menggunakan yang lebih
tinggi sebagai pembanding. Namun, seperti mobil yang dipaksa berlari kencang
di suatu tanjakan, akan terbakar. Tanda-tanda akan terbakar mulai terlihat.
Bom teroris, pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi, orang menekuni hukum
bukan untuk diikuti, tetapi untuk dicari celahnya.

Di tanjakan-tanjakan yang nyaris terbakar, energi panas kepintaran
memerlukan kesejukan air kebijaksanaan. Bekerja, belajar, dan berdoa tentu
terus dilakukan karena ini yang membuat kehidupan berputar. Namun, menarik
udara segar kehidupan melalui pelayanan dan keterbukaan amat membantu dalam
membuat kehidupan agar tidak terbakar. Seorang sahabat bodoh yang beruntung
pernah mengirimkan pesan singkat: "sebagaimana air yang sejuk dan lembut
senantiasa mengalir ke tempat-tempat rendah, demikian juga dengan
orang-orang yang rendah hati, kesehariannya juga sejuk dan lembut".

[Gede Prama Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming
Suffering Into The Ultimate Healing - Kompas 24/10/2009]

No comments: